Image and video hosting by TinyPic

Selasa, 27 Agustus 2013

Tips Memilih Pasangan Hidup

bismillahirrahmanirrahim
Menikah mengandung tanggung jawab yang besar. Oleh karena itu, memilih pasangan hidup juga merupakan hal yang harus benar-benar diperhatikan. Rasulullah SAW telah memberikan teladan dan petunjuk tentang cara memilih pasangan hidup yang tepat dan islami. Insya Allah tips-tips berikut ini akan dapat bermanfaat.
A. Beberapa kriteria memilih calon istri
  1. Beragama islam (muslimah). Ini adalah syarat yang utama dan pertama.
  2. Memiliki akhlak yang baik. Wanita yang berakhlak baik insya Allah akan mampu menjadi ibu dan istri yang baik.
  3. Memiliki dasar pendidikan Islam yang  baik. Wanita yang memiliki dasar pendidikan Islam yang baik akan selalu berusaha untuk menjadi wanita sholihah yang akan selalu dijaga oleh Allah SWT. Wanita sholihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia.
  4. Memiliki sifat penyayang. Wanita yang penuh rasa cinta akan memiliki banyak sifat kebaikan.
  5. Sehat secara fisik. Wanita yang sehat akan mampu memikul beban rumah tangga dan menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu yang baik.
  6. Dianjurkan memiliki kemampuan melahirkan anak. Anak adalah generasi penerus yang penting bagi masa depan umat. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menganjurkan agar memilih wanita yang mampu melahirkan banyak anak.
  7. Sebaiknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah menikah. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara keluarga yang baru terbentuk dari permasalahan lain.
B. Beberapa kriteria memilih calon suami
  1. Beragama Islam (muslim). Suami adalah pembimbing istri dan keluarga untuk dapat selamat di dunia dan akhirat, sehingga syarat ini mutlak diharuskan.
  2. Memiliki akhlak yang baik. Laki-laki yang berakhlak baik akan mampu membimbing keluarganya ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
  3. Sholih dan taat beribadah. Seorang suami adalah teladan dalam keluarga, sehingga tindak tanduknya akan ‘menular’ pada istri dan anak-anaknya.
  4. Memiliki ilmu agama Islam yang baik. Seorang suami yang memiliki ilmu Islam yang baik akan menyadari tanggung jawabnya pada keluarga, mengetahui cara memperlakukan istri, mendidik anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga secara halal dan baik.
Sebagai catatan tambahan, dianjurkan memilih calon pasangan hidup yang jauh dari silsilah kekerabatan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keturunan dari penyakit-penyakit menular atau cacat bawaan kekerabatannya. Selain itu juga dapat memperluas pertalian kekeluargaan dan ukhuwah islamiyah.
Semoga kita semua dibimbing oleh Allah SWT dalam berikhtiar mendapatkan pasangan hidup yang terbaik dan diridhoi-Nya serta dapat ikut serta menemani kita ke surga dunia dan akhirat. Amin.
KUNJUNGI JUGA FACEBOOK KAMI:
https://www.facebook.com/pages/Ridhoi-Aku-Ya-Allah/362405727189084?ref=hl
https://www.facebook.com/musliminmuslimatpemalang
https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-Informasi-Ada-Di-Sini/205673016111757
https://www.facebook.com/pages/IMAM-Mahasin-ADLI/123809717704852 

BOM BUNUH DIRI KESURGA ATAU NERAKA?


Pertanyaan:
 Pak profesor yang saya hormati, saya mau tanya, telah banyak kita saksikan aksi-aksi teror dengan modus yang kita kenal dengan bom bunuh diri di berbagai negara termasuk Indonesia. Pelakunya orang Islam dan sasarannya biasanya non Islam. Kebingungan saya, apakah tindakan tersebut dapat dibenarkan dalam arti pelakunya mati syahid atau sekedar aksi bunuh diri yang sangat dicela Islam? Bagaimana pandangan Islam sendiri tentang fenomena tersebut? 
Abdurrahman, Nganjuk 



Jawaban:
Saudara Abdurrahman yang terhormat. Secara garis besar, terdapat dua pendapat ulama dalam masalah melakukan aksi bom manusia dalam peperangan melawan musuh kafir, seperti yang terjadi di Palestina, sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Ulama masa kini yang membolehkan seperti Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili (Dekan Fakultas Syariah Universitas Damaskus), Prof. Dr. Wahbah Az- Zuhaili (Ketua Jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih Fakultas Syariah Universitas Damaskus), Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (Ketua Jurusan Teologi dan Perbandingan Agama Fakultas Syariah Universitas Damaskus), Syaikh Muhammad Sayyed Tanthawi (Syaikhul Azhar), Syaikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi (ulama Mesir), Dr. Yusuf AI- Qaradhawi (Ulama Qatar), dll.
Al-Qadah dalam kitabnya Al-Mughamarat bin An-Nafsi fi Al-Qital wa Hukmuha fi AI-Islam telah menyebutkan sekitar 20 dalil syara' yang mendasari bolehnya melakukan aksi bom manusia, yang dihimpunnya dari pendapat-pendapat ulama yang membolehkan aksi bom manusia ini.
Diantaranya adalah: Surat an-Nisa' ayat 74, yang artinya: "Karena itu hendaklah orang- orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan Maka kelak akan kami berikan kepadanya pahala yang besar."
Wajhud dalalah dari ayat ini menurut Al-Qadah, adalah bahwa Allah SWT menyamakan pahala orang yang gugur dengan pahala orang yang mampu mengalahkan musuh· Karena membela agama Allah. Dan orang yang melakukan aksi bom manusia, dalam hal ini termasuk dalam kategori orang yang gugur di jalan Allah tadi, bukan termasuk orang yang bunuh diri. Sebab andai kata termasuk orang yang bunuh diri, Allah tidak akan memberikan pahala besar baginya, tetapi malah akan memasukkannya ke dalam neraka, seperti keterangan dalam hadits-hadits Nabi SAW.
Surat al-Baqarah ayat 195 yang artinya: "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."
Ayat ini tidak melarang aktivitas perang di jalan Allah yang dapat membuat diri sendiri terbunuh. Atau dengan kata lain, membolehkan aktivitas perang semacam itu. Dan aksi bom manusia termasuk aktivitas perang yang dapat membuat pelakunya terbunuh. Pemahaman ini didasarkan pada penjelasan shahabat Abu Ayyub AI-Anshari yang mengoreksi pemahaman yang salah terhadap ayat terse but, yang dipahamisebagai larangan mengorbankan diri dalam peperangan, pada hal sababun nuzul dari ayat tersebut adalah karena kaum anshar merasa sudah saatnya meninggalkan perang dan mengurus harta benda, sebagaimana yang dipaparkan Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya.
Al-Qadah menyimpulkan, bahwa dengan demikian, ayat ini menunjukkan bolehnya mempertaruhkan nyawa dalam peperangan, meskipun yakin akan terbunuh. Aksi bom manusia termasuk jenis aktivitas seperti ini.
Hadits Nabi SAW sebagaimana riwayat Imam Muslim berikut: Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah pernah pada Perang Uhud hanya bersama tujuh orang Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh mendekati Nabi SAW, beliau bersabda: "Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga". Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Musuh mendekat lagi dan rasulullah bersabda lagi, {Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga, atau ia bersamaku di surga". Kemudian satu orang dari Anshar maju dan bertempur sampai gugur. Dan hal ini terus berlangsung sampai ketujuh orang Anshar tersebut terbunuh. (HR. Muslim)
Perkataan Nabi SAW, {Barang siapa bisa menyingkirkan mereka dari kita, ia akan masuk surga" adalah sebuah isyarat bahwa mereka akan terbunuh di jalan Allah, dan dalam hal ini kematian hampir dapat dipastikan. Peristiwa ini menunjukkan bolehnya mengorbankan diri sendiri seperti halnya akasi bom manusia dengan keyakinan akan mati di jalan Allah.
Namun demikian sebagian ulama' seperti Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Shaleh AI-Utsaimin dan Haiah Kibarul Ulama' mengharamkan aksi bom manusia. Berikut pendapat mereka dan dalil-dalilnya:
Syaikh Nashiruddin AI-Albani ketika ditanya hukum aksi bom manusia, beliau menjawab, bahwa aksi bom manusia dibenarkan dengan syarat adanya pemerintahan Islam yang berlandaskan hukum Islam, dan seorang tentara harus bertindak berdasarkan perintah pimpinan perang (amirul jaisy) yang ditunjuk khalifah. Jika tidak ada pemerintahan Islam di bawah pimpinan khalifah, maka aksi bom manusia tidak sah dan termasuk bunuh diri.
Syaikh Shaleh AI-Utsaimin ketika ditanya mengenai seseorang yang memasang bom dibadannya lalu meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang kafir untuk melemahkan mereka, beliau menjawab, bahwa tindakan itu adalah bunuh diri. Pelakunya akan diazab dalam neraka Jahannam dengan cara yang sama yang digunakan untuk bunuh diri di dunia, secara kekal abadi. Beliau berdalil dengan firman Allah SWT, yang melarang bunuh diri: {{Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu'~ (QS. An-Nisa': 29) Beliau juga berdalil dengan had its- had its Nabi SAW yang melarang bunuh diri, seperti hadits Nabi SAW: {Barang siapa yang mencekik lehernya, ia akan mencekik lehernya sendiri di neraka. Dan baraang siapa yang menusuk dirinya sendiri, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka".(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Menurut Haiah Kibarul Ulama' bahwa Syariah Islam telah datang untuk melindungi lima hal penting dan melarang untuk melanggarnya, lima hal itu adalah: agama, kehormatan, harta benda, kehidupan, dan akal budi.
Orang-orang Islam dilarang untuk melanggar hal tersebut di atas terhadap orang-orang Islam yang berhak dilindungi. Orang-orang tersebut mempunyai hak-hak yang harus dilindungi berdasarkan pada syari'ah orang Islam, tidak diperbolehkan untuk melanggar hak setiap sesama muslim atau membunuhnya tanpa adanya sebab yang membolehkannya. Barang siapa melakukannya, maka ia telah melakukan dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda: "Darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, adalah tidak diperkenankan (untuk ditumpahkan darahnya) kecuali berdasarkan pada tiga hal, balasan karena telah membunuh seorang (qishash), menghukum pezina (rajam), seseorang yang meninggalkan agamanya (murtad), meninggalkan al Jama'ah (HR.Bukhari dan Muslim).
Tidak hanya muslim, non muslim pun juga berhak mendapatkan perlindungan, mereka adalah: 1. Mereka (non muslim) yang mengadakan perjanjian, 2. Dzimmi, 3. Mereka (non muslim) yang mencari perlindungan dari kaum muslim.
Dengan demikian, maka apa yang terjadi yaitu peristiwa pemboman (bom bunuh diri) adalah sesuatu yang dilarang, yang Islam tidak menyetujui hal tersebut, hukumnya adalah haram berdasarkan pada beberapa hal:

  1. Kegiatan ini merupakan pelanggaran terhadap sucinya wilayah muslimin dan hal ini dapat menimbulkan ketakutan siapa saja yang dilindungi di dalamnya. 
  2. Kegiatan ini mengandung sifat membunuh orang-orang yang hidup, yang dilindungi syari'ah Islam.
  3. Kegiatan ini mengakibatkan kerusakan di bumi. 
  4. Kegiatan ini mengandung unsur perusakan, harta benda dan apa-apa yang dimiliki, dan hal itu dilarang.

Bila kita melihat dua pendapat di atas, pendapat ulama yang membolehkan aksi bom bunuh diri dalam situasi peperangan melawan orang kafir lebih kuat daripada yang mengharamkan, dengan pertimbangan bahwa ulama yang membolehkan mempunyai pemahaman fakta yang lebih jeli, dan dalil-dalilnya lebih sesuai untuk fakta yang dimaksudkan, yaitu dalam konteks perang seperti di Palestina. Inipun masih melihat pada motif pelaksanaan bom manusia itu sendiri. Kalau untuk menegakkan agama Allah maka boleh dan pelaku mati syahid tetapi bila tujuannya hanya murni bunuh diri karena ingin lepas dari segala kepenatan hidup maka hukumnya bunuh diri dan pelakunya berdosa.
Sementara dalam konteks Indonesia dan Negara-negara muslim lainnya dewasa ini, di saat Islam belum secara total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam umumnya berpendapat, bahwa agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah membina individu dan organisasi muslim serta membangun kekuatan umat pada semua lini. Hal ini senada dengan apa yang sudah menjadi keputusan Bahtsl Masail Pengurus Wilayah NU Jawa Timur di Pesma AI-Hikam Malang pada tahun 2006 yang menyatakan, bahwa tindakan kekerasan (teror) hampir bisa dipastikan menimbulkan korban nyawa dan harta di luar sasaran jihad, maka hal ini tidaklah tepat untuk diterapkan di Indonesia. Kita tidak diperkenankan memposisikan warga Negara non Muslim sebagai musuh yang boleh kita perangi, akan tetapi justru kita berkewajiban untuk mengupayakan mereka tetap merasa aman hidup berdampingan dengan kita. Artinya, belum tiba masanya bagi orang Islam sekarang ini untuk melakukan konfrontasi militer kecuali dalam kasus-kasus yang semua maklum seperti di Palestina. (Wallahu A'lam)

WANITA TIDAK MAU HAID


Pertanyaan     :
Assalamu'alaikum Wr Wb, Bapak Profesor yang saya hormati. Setelah berkembangnya zaman, dunia medis sekarang mempunyai obat yang bisa menahan keluarnya darah haid bagi perempuan, biasanya wanita memakai obat ini bertujuan agar dapat menunaikan ibadah haji dengan sempurna ataupun menjalankan ibadah puasa dengan sempurna. Lantas bagaimanakah hukum memakai obat tersebut menurut fiqih?
(Ayu Puspita : Mojokerto)


Jawaban          :
Wa'alaikumussalam Wr. Wb., Mbak Ayu yang hormati. Haid (menstruasi) adalah bagian dari kodrat perempuan dan ketentuan Allah SWT yang pasti ada manfaat dan hikmahnya bagi permpuan itu sendiri. Tentang detail manfaat dan hikmah  haid tentu menjadi wilayah kewenangan dan otoritas intelektual para dokter spesialis kandungan. Rasulullah SAW dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh al-Buklhariy dan Muslim menyatakan (yang maknanya): Ini (haid) merupakan ketentuan Allah SWT yang ditetapkan bagi anak-anak wanita Adam.
Terhadap perempuan yang sedang haid diberikan beberapa kemudahan dan perkecualian, yaitu: tidak usah mengerjakan shalat wajib dan tidak perlu mengqadla'nya (menggantinya); tidak boleh mengerjakan puasa tetapi harus mengqadla'nya. Dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh al-Jama'ah (mayoritas ahli hadis) dari 'Aisyah RA, berkata (yang maknanya): Dahulu pada zaman Rasulullah, jika kami haid diperintahkan mengqadla' puasa, tetapi tidak diperintahkan mengqadla shalat. Perempuan yang sedang haid juga tidak boleh disetubuhi (al-Baqarah ayat 222), tidak boleh masuk dan diam di masjid (hadis riwayat Abu Dawud), tidak boleh membaca dan menyentuh/membawa mushaf al-Qur'an (hadis riwayat at-Turmudziy dan Ibnu Majah), tidak boleh diceraikan (surat at-Thalaq ayat 1 dan hadis riwayat al-Jama'ah kecuali al-Bukhariy) dan tidak boleh thawaf (hadis riwayat al-Bukhariy dan Muslim).
Zaman sekarang, dunia medis menawarkan obat untuk menahan keluarnya darah haid bagi perempuan, sehingga mereka dapat menunaikan ibadah haji dengan sempurna dan melaksanakan puasa Ramadan sebulan penuh tanpa harus mengqadla'nya. Dalam hal ini Syaikh Mar'i al-Maqdisiy, Syaikh Ibrahim bin Muhammad (keduanya ahli fiqih madzhab Hanbali) dan Syaikh Yusuf al-Qardlawiy (ahli fiqih kontemporer) berpendapat, bahwa perempuan yang mengkhawatirkan puasa atau hajinya tidak sempurna, maka dia boleh menggunakan obat untuk menunda haidnya. Alasan mereka adalah karena perempuan itu sulit mengqadla' puasanya atau menyempurnakan hajinya, sedangkan nas (dalil) untuk melarang penundaan haid itu tidak ada. Apalagi sampai saat ini tidak ada temuan medis, bahwa obat penundaan haid itu dapat menimbulkan bahaya bagi pemakainya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang Komisi Fatwa tahun 1984 menetapkan, bahwa:
Penggunaan pil antihaid untuk kesempurnaan haji, hukumnya adalah mubah (boleh)
Penggunaan pil antihaid dengan maksud agar dapat menyempurnakan puasa Ramadan sebulan penuh, pada dasarnya makruh (tidak disukai). Tetapi bagi perempuan yang mengalami kesulitan untuk mengqadla' puasanya yang tertinggal di hari lain, maka hukumnya adalah mubah (boleh)Penggunaan pil antihaid selain dari dua ibadah tersebut di atas, tergantung pada niatnya. Apabila untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran hukum agama maka hukumnya haram.
Ulama sepakat menyatakan , bahwa penundaan haid dengan menggunakan obat antihaid selain untuk ibadah haji dan puasa tidak dibenarkan. Demikan juga untuk shalat, karena shalat yang tertinggal selama haid tidak perlu diqadla'. Hal ini sesuai hadis 'Aisyah yang diriwayatkan oleh al-Jamaah menyatakan (yang maknanya): Dahulu pada zaman Rasulullah, jika kami haid diperintahkan mengqadla' puasa, tetapi tidak diperintahkan mengqadla shalat.
Mengenai perempuan yang tidak mau haid sama sekali, dengan cara minum obat antihaid atau cara apapun lainnya, menuruit saya, haram hukumnya dengan alasan:
Menyalahi fitrah dan kodrat diri sebagai perempuan yang berarti mengubah ciptaan Allah SWT secara permanen. Allah SWT mengecam keras upanya mengubah ciptaan secara permanen (berdasar makna surat an-Nisa 119): Dan aku (syetan) benar-benar akan menyesatkan mereka, akan membangkintkan angan-angan kosong pada mereka, akan menyuruh mereka (memotong telinga binatang ternak) lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah SWT) lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syetan menjadi pelindung selain Allah SWT, maka sungguh menderita kerugian yang nyata.
Walaupun saya belum tahu apa sudah ada penelitian medis tentang bahaya perempuan yang menahan darah haidnya dalam waktu lama apa belum, tapi berdasar keyakinan , bahwa pelanggaran terhadap fitrah itu pasti berakibat negatif dan membahayakan diri, maka penundaan haid secara permanen pasti berbahaya bagi kesehatan perempuan yang bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan ini pasti dilarang dalam Islam sesuai firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 195 (yang maknanya): Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah SWT, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kehancuran. Berbuat baiklah, karena sungguh Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik. Demikian pula sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah (yang maknanya): Siapapun tidak boleh berbuat apapun yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Kesimpulan:
Haid adalah fitrah perempuan yang telah ditetapkan Allah SWT yang pasti ada manfaat dan hikmahnya.Perempuan yang sedang haid mendapat beberapa kemudahan dan perkecualian, yaitu: tidak usah mengerjakan shalat wajib dan tidak perlu mengqadla'nya (menggantinya); tidak boleh mengerjakan puasa tetapi harus mengqadla'nya; tidak boleh disetubuhi; tidak boleh masuk dan diam di masjid; tidak boleh membaca dan menyentuh/membawa mushaf al-Qur'an; tidak boleh diceraikan dan tidak boleh thawaf.Perempuan yang mengkhawatirkan puasa atau hajinya tidak sempurna, maka dia boleh menggunakan obat untuk menunda haidnya.
Ulama sepakat menyatakan , bahwa penundaan haid dengan menggunakan obat antihaid selain untuk ibadah haji dan puasa tidak dibenarkan.
Perempuan yang tidak mau haid sama sekali (penundaan haid secara permanen), dengan cara minum obat antihaid atau cara apapun, hukumnya haram karena menyalahi fitrah dan kodrat diri sebagai perempuan yang berarti mengubah ciptaan Allah SWT secara permanen. Pelanggaran terhadap fitrah itu pasti berakibat negatif dan membahayakan diri, maka pasti berbahaya bagi kesehatan perempuan yang bersangkutan. Wallaahu a'lam.

KUNJUNGI JUGA FACEBOOK KAMI:



HUKUM TAHLILAN DAN YASINAN



Pertanyaan
Apa hukum membaca tahlil dan Surat Yasiin, yang ditujukan bagi orang yang sudah wafat? Mohon dijawab, serius dan penting.

Jawaban
Membaca tahlil atau Surat Yasin sejatinya adalah berzikir; zikir yang bertujuan mendoakan keluarga yang telah wafat. Hal itu bisa dilakukan secara individual maupun berjamaah. Jika dilakukan secara individual, maka kita bisa melakukannya kapan saja dan di mana saja. Jika dilakukan secara berjamaah, tentu harus berkumpul di tempat khusus. Zikir yang dilakukan secara bersama-sama, merupakan ibadah yang dianjurkan oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ عَزَّوَجَلَّ إِلاَّحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم)
Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berzikir kepada Allah Swt, kecuali mereka akan dikelilingi oleh para malaikat. Allah Swt. akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan Allah akan memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim)
Imam as-Syafi’i ra. menyatakan: “Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah Swt. memperkenankan umat Islam mendoakan saudaranya yang masih hidup, tentu diperbolehkan juga mendoakan saudaranya yang telah wafat. Dan barokah doa tersebut Insya Allah akan sampai kepada yang didoakan. Sebagaimana Allah Swt. Maha Kuasa memberi pahala kepada orang yang hidup, Allah Swt. juga Maha Kuasa memberi manfaat doa kepada mayit.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Manaqib al-Syafi’i, Juz I, hal. 430)
Dalam hadits riwayat Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda:
ما من ميت تصلي عليه أمة من المسلمين يبلغون مائة يشفعون له إلا شفعو فيه (صحيح مسلم)
Mayyit yang dishalati oleh seratus orang Muslimin sambil (berdoa) memintakan ampun baginya, tentu permohonan mereka akan diterima. (HR. Muslim, 1576)
                Mendoakan keluarga, khususnya kedua orang tua yang sudah wafat, merupakan anjuran agama. Karena orang yang sudah wafat tidak bisa lagi berbuat kebajikan. Yang bisa ia harapkan hanya 3 hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan atau bersedekah untuknya (al-hadits). Jika ilmu dan harta tidak punya, maka doa anak-cuculah yang selalu ditunggu oleh ahli kubur (kita semua calon ahli kubur, lhoo…).
Kita diajurkan selalu mendoakan leluhur kita, yang wafatnya bukan disebabkan mati syahid, karena mereka pasti akan menghadapi ujian berat di alam kubur. Hal ini ditegaskan oleh banyak hadits Nabi SAW (akan dijelaskan di belakang). Sedangkan orang yang mati syahid, mereka sudah “cukup” dengan kesyahidannya. Pernah seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, kenapa hanya orang mati syahid yang terbebas dari ujian kubur? Rasulullah SAW menjawab:
كفى ببارقة السيوف على رأسه فتنة
Cukuplah ujian orang yang mati syahid itu ketika ia menghadapi kilatan pedang (ujiannya saat berperang).
                Sedangkan bagi orang kebanyakan yang tidak mati syahid, maka ujian dan siksa kubur akan selalu menunggu. Sehingga wajar bila kita selalu mendoakan mereka, baik lewat tahlil atau bacaan Surat Yasin, agar mereka bisa menghadapi ujian di alam kubur dengan baik.

Hakikat Tahlil dan Yasiin
Secara bahasa, tahlil artinya membaca la ilaha illalLah. Istilah sudah menjadi dialek orang Arab yang kemudian diindonesiakan. Karena itu, di Indonesia, istilah tahlil digunakan untuk menunjukkan aktivitas doa yang di dalamnya memuat bacaan la ilaha illalLah, yang ditujukan untuk orang yang sudah wafat. Dari sini dapat dipahami, bahwa di dalam tahlil pasti terdapat bacaan la ilaha illalLah dan zikir-zikir yang lain, termasuk ayat-ayat al-Qur’an.
Tahlil yang biasa dibaca oleh kaum Muslimin di Indonesia, khususnya kaum Nahdliyyin, merupakan kumpulan doa yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an, mulai dari Surat Al-Fatihah, permulaan Surat al-Baqarah, hingga tiga surat terakhir (Al-Ikhlas, al-Falaaq, dan an-Naas). Banyak sekali riwayat hadits yang menunjukkan keutamaan bacaan-bacaan tersebut, yang tentu saja tidak cukup diurai satu per-satu di sini.
Dari sini dapat ditarik benang merah, bahwa redaksi tahlil tidak harus sama. Tidak ada tahlil tunggal yang harus diikuti oleh semua orang. Setiap doa yang ditujukan untuk orang yang sudah wafat, yang di dalamnya memuat la ilaha illalLah, semua itu hakikatnya adalah tahlil. Maka, di setiap daerah, bacaan tahlil itu tidak sama persis. Sebab, tujuan utama tahlil bukan lafadznya, bukan redaksinya, melainkan doanya dan kandungan isinya.
Mengenai pembacaan Surat Yasin, hal itu juga merupakan ibadah dan doa yang sangat dianjurkan. Diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ويس قلب القرأن لايقرؤها رجلٌ يريد الله تبارك وتعالى والدار الاخرة إلا غفرله, واقرؤها على موتاكم (مسندأحمد بن حنبل)
Surat Yasin adalah jantung Al-Qur’an. Tidaklah seseorang membacanya dengan mengharap ridla Allah Swt, kecuali Allah Swt. akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah Surta Yasin atas orang-orang yang telah meninggal di antara kamu sekalian. (Musnad Ahmad ibn Hanbal, 1941)

Pembagian Waktu
Mengenai waktu untuk mendoakan, sebenarnya boleh dilakukan kapan saja dan di mana, baik dilakukan secara individual maupun bersama-sama. Sebab, seperti telah ditegaskan di muka, orang yang sudah wafat itu mendapat ujian berat selama berada di alam kubur, menunggu hari kiamat tiba. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, saat terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW, beliau memimpin shalat gerhana. Dan ketika sedang berkhutbah, beliau mengingatkan tentang beratnya ujian bagi orang yang sudah wafat:
إن الناس يفتنون في قبورهم كفتنة الدجال. قالت عائشة وكنا نسمعه بعد ذلك يتعوذ من عذاب القبر
Sesungguhnya manusia itu diuji di dalam kuburan mereka, seperti ujian Dajjal. Siti Aisyah menyatakan: Setelah itu kami mendengar beliau (Nabi) memohon perlindungan dari siksa kubur. (As-Sunan al-Kubra li an-Nasa’i, 1/572. Lihat juga Tahdzib al-Atsar 2/591 dan Shahih Ibnu Hibban 7/81).
Menurut Syeikh al-Albani, hadits riwayat an-Nasa’i ini adalah hadits shahih, sehingga bisa dijadikan sandaran hukum.
Mengenai pilihan 7 hari, 40 hari, atau 100 hari untuk melakukan doa bersama, hal itu karena mengikuti kebiasan para sahabat dan ulama salafus shaleh. Imam Ahmad bin Hambal ra. menyatakan dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi dan ad-Durr al-Mantsur:
حدثنا هاشم  بن القاسم قال حدثنا الاشجعي عن سفيان قال: قال طاوس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم  تلك الآيام
Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami: Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan: Imam Thawus berkata : “Orang-orang yang meninggal dunia itu mendapat ujian berat selama 7 hari di dalam kubur mereka. Maka kemudian para ulama salaf menganjurkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 178 dan ad-Durr al-Mantsur 5/38)
Imam Ibnu Jarir at-Thabari mempertegas maksud hadits di atas sbb:
وأخرج ابن جرير في مصنفه عن الحارث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان : مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا, وأما المنافق فيقتن أربعين صباحا
Ibnu Jarir meriwayatkan dalam Mushannafnya, dari Ibnu Abi al-Harts, dari Ubaid ibn Umair, ia berkata: Yang diuji (di dalam kubur) adalah dua orang, yakni orang mukmin dan munafik. Orang mukmin diuji selama 7 hari, dan orang munafik diuji selama 40 hari (ad-Durr al-Mantsur, 5/38).

Imam Suyuthi menandaskan bahwa: “Tradisi bersedekah selama 7 hari merupakan kebiasaan yang telah berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi) di Mekah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi Saw. sampai sekarang. Dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Nabi Saw)”.
Telah kita maklumi, kaum Muslimin yang mengadakan tahlil atau Yasinan, juga bersedekah dengan memberikan hidangan kepada para undangan. Pahala sedekah tersebut ditujukan untuk keluarga mereka yang sudah wafat.
Sedangkan istilah “haul” (peringatan satu tahunan setelah kematian) diambil dari sebuah ungkapan yang berasal dari hadist Nabi Saw. dari al-Waqidi:
كان النبي ص.م يزور الشهداء باحد فى كل حول, واذا بلغ الشعب رفع صوته  فيقول :سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار ثم ابو بكر رضي الله عنه كل حول يفعل مثل ذلك ثم عمربن الخطاب ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهما (اخرخه البيهقي)
Rasulullah saw. setiap haul (setahun sekali) berziarah ke makam para syuhada’ Perang Uhud (tahun ke 3 H.). Ketika Nabi saw. sampai di suatu tempat bernama Syi’b, beliau berseru: Semoga keselamatan tercurahkan bagi kalian atas kesabaran kalian (para syudaha’). Alangkah baiknya tempat kembali kalian di akhirat.” Kemudian Abu Bakar juga melakukan seperti itu. Demikian juga Umar bin Khatthab ra. dan Utsman bin Affan ra. (H.R. Baihaqi)

Kesimpulan
Dari sedikit uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca tahlil, Yasiin, atau doa apa saja bagi orang yang sudah wafat, hukumnya adalah sunnah (anjuran agama). Doa-doa tersebut telah menjadi tradisi secara turun-temurun sejak masa Shahabat hingga sekarang. Doanya tidak wajib sama, asalkan esensinya sama.
Karena hukumnya “hanya” sunnah, maka tidak melakukan tahlil atau Yasinan tidak apa-apa, tidak berdosa. Tapi bertahlil dan Yasinan, tentu lebih baik. Apalagi ditujukan untuk mendoakan para leluhur kita. Sebab, dulu mereka telah merawat, membesarkan, dan mendidik kita. Kini, setelah mereka wafat, sudah selayaknya kita mendoakan mereka.
Mengenai tuduhan SEBAGIAN kalangan bahwa tahlil dan Yasinan tidak punya dasar dalam syariat, itu hanyalah perbedaan pendapat yang sangat wajar terjadi dalam masalah-masalah furu’iyyah (hukum-hukum cabang dalam syariat). Tidak perlu dipermasalahkan. Yang mau tahlilan dipersilahkan, yang tidak mau tidak apa-apa. Wong, manfaat atau mudlaratnya kembali pada diri kita masing-masing. Tapi kami yakin, kita semua pada dasarnya ingin didoakan oleh keturunan kita, saat kita telah berada di alam kubur kelak.
Harapan kami, kalangan yang “anti tahlil dan Yasinan” itu tidak perlu menuduh bid’ah, kufur, apalagi syirik kepada umat Islam yang suka tahlilan. Sebab, dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa tuduhan kufur kepada sesama Muslim, jika tidak benar, maka akibatnya akan menimpa pihak penuduh sebelum ia wafat. Wal-‘iyadzu bilLaah.

KUNJUNGI JUGA FACEBOOK KAMI:





Sabtu, 05 Januari 2013

HUKUM ALKOHOL : Najiskah Alkohol? Sahkah Sholat karena menggunakan deodoran beralkohol? Bolehkah Digunakan dalam Parfum, Minyak Wangi, Kosmetika, Obat dan Peralatan Medis?

HUKUM ALKOHOL : Najiskah Alkohol? Sahkah Sholat karena menggunakan deodoran beralkohol? Bolehkah Digunakan dalam Parfum, Minyak Wangi, Kosmetika, Obat dan Peralatan Medis?

Berikut ini kami kumpulkan beberapa tulisan dan penjelasan Asatidz yang membawakan Fatwa Ulama Ahlussunnah mengenai pembahasan HUKUM ALKOHOL, baik digunakan dalam parfum, kosmetika, obat maupun untuk desinfektan peralatan medis.
1. Hukum Obat dan Parfum Beralkohol

2. Najiskah Alkohol

3. Alkohol Dalam Obat dan Parfum
Semoga Bermanfaat.
————-

Hukum Obat dan Parfum Beralkohol

Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiah Hammad
Pertanyaan:
Apa hukum menggunakan obat-obatan dan wangi-wangian yang mengandung alkohol?
Abu Abdil Aziz (0815209????)
Jawab:
Adapun hukum alkohol dijadikan campuran obat atau wangi-wangian, maka berikut jawaban dari Syaikh Yahya Al-Hajuri dan Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i:
Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajury -hafizhohullah- menjawab dengan nash sebagai berikut:
“Apabila alkohol tersebut sedikit dan larut di dalamnya sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali apalagi memberikan efek atau pengaruh maka itu tidaklah mengapa. Adapun apabila alkohol tersebut terdapat di dalam obat sehingga memberikan pengaruh terhadap pemakai apakah karena dosisnya di dalam obat tersebut 50% atau kurang maka hukumnya tidak boleh”.
Permasalahan ini juga telah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’iy Al-’Adany yang diberi gelar oleh Syaikh Yahya sebagai Faqihud Dar .
Beliau menjawab semakna dengan jawaban Syaikh Yahya di atas dan beliau menambahkan, “Dan itu sama seperti air yang masuk ke dalamnya beberapa tetes urine (air seni). Apabila air tersebut berubah dari asalnya maka air tersebut menjadi najis dan apabila air seni tersebut tidak mengubah dan tidak memberikan pengaruh terhadapnya maka air tersebut tetap pada hukum asalnya”.

Dan beliau (Syaikh ‘Abdurrahman) juga pernah ditanya dengan nash pertanyaan berikut:
“Darimana kita bisa mengetahui bahwa alkohol tersebut sudah terurai dengan zat yang lain ?”
Beliau menjawab:
“(Diketahui) dengan salah satu dari dua perkara (berikut) :
1. Kita menerapkan kaidah yang berbunyi “Apa-apa yang dalam jumlah banyak memabukkan maka dalam jumlah sedikit juga haram”. Maka minyak wangi ini (yang bercampur dengan alkohol-pent.) jika dalam jumlah banyak bisa memabukkan maka dalam jumlah kecil juga tidak boleh menjualnya, tidak boleh membelinya, dan tidak boleh menggunakannya. Dan yang nampak bahwa hal tersebut berjenjang, karena di antara minyak wangi ini ada yang terdapat alkohol di dalamnya dengan kadar 15 %, di antaranya ada yang 2 % dan di antaranya ada yang 6 %, yang jelas inilah kaidah yang difatwakan oleh para ulama.
2. Dengan meneliti minyak wangi ini melalui cara-cara penelitian modern. Jika diketahui dengannya bahwa alkohol ini tidak menyatu dengan zat minyak wangi maka boleh menggunakannya, jika tidak diketahui maka tidak (boleh).
(Adapun) Obat-obatan yang mengandung alkohol, maka rinciannya seperti rincian pada minyak wangi (di atas).
Dan yang nasihatkan adalah meninggalkan penggunaan minyak wangi dan obat-obatan yang terdapat alkohol di dalamnya”.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=284
* * *

Najiskah Alkohol?

Penulis : Al-Ustadz Abu Muawiah Hammad
Tanya:
Bismillah,
Ustadz sahkah shalat seseorang sedangkan orang itu memakai deodorant yang mengandung alkohol?
“Ummahat” <rofiifroofi@yahoo.com>
Jawab:
Sebenarnya masalah ini dipermasalahkan oleh sebagian orang karena mengira alcohol itu adalah khamar sementara khamar itu adalah najis, karenanya tidak boleh membawa benda beralkohol di dalam shalat.
Hanya saja telah kami jelaskan sebelumnya bahwa alcohol itu tidak identik dengan khamar, karena alcohol hanya menjadi khamar (memabukkan) ketika mencapai ukuran tertentu. Silakan baca keterangannya di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=284
Kalaupun anggaplah alcohol itu khamar, maka harus dibahas lagi apakah khamar itu betul najis, dan yang benarnya bahwa khamar bukanlah najis. Ini adalah pendapat Al-Muzani dari Asy-Syafi’iyah dan Daud Azh-Zhahiri. Mereka berdalilkan dengan hadits Anas ketika beliau menceritakan kisah pengharaman khamar awal kali:
فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَادِيًا يُنَادِي أَلَا إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ قَالَ فَقَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ اخْرُجْ فَأَهْرِقْهَا فَخَرَجْتُ فَهَرَقْتُهَا فَجَرَتْ فِي سِكَكِ الْمَدِينَةِ
“Kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan bahwa khamar telah diharamkan”. Anas berkata, “Maka Abu Tholhah berkata kepadaku, “Keluar dan tumpahkanlah”. Maka aku keluar lalu aku tumpahkan. Maka khamar mengalir di jalan-jalan kota Madinah.” (HR. Al-Bukhari no. 2884, 4254 dan Muslim no. 3662)
Imam Al-Bukhari memberikan judul bab pada tempat yang pertama: Bab Menumpahkan Khamar di Jalan. Sisi pendalilan dari hadits ini bahwa khamar bukanlah najis adalah karena khamar-khamar tersebut di buang ke jalanan, sementara telah ada larangan dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- untuk membuang najis di jalan yang dilalui oleh kaum muslimin, jadi khamar tidak mungkin najis.
Sisi pendalilan yang kedua bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak memerintahkan mereka untuk mencuci bejana-bejana bekas penyimpanan khamar mereka, seandainya dia najis maka tentunya tempat penyimpanannya harus dicuci. Jika ada yang mengatakan bahwa perintahnya diundurkan, maka kita katakan bahwa itu bertentangan dengan sifat amanah Nabi -alaihishshalatu wassalam-, karena seorang nabi tidak boleh mengundurkan penjelasan sesuatu dari waktu penjelasan itu dibutuhkan. Dan di sini mereka sangat membutuhkan penjelasan tersebut karena mereka akan segera memakai bejana mereka, wallahu a’lam.
Jadi, khamar bukanlah najis dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dan Ash-Shan’ani -rahimahumallah-. Hanya saja perlu diingatkan bahwa kewajiban seorang muslim ketika melihat khamar adalah menumpahkannya (jika dia berhak melakukannya) sebagaimana perbuatan para sahabat di atas. Karenanya walaupun dia bukan najis, akan tetapi seorang muslim tidak boleh membawanya apalagi memasukkannya ke dalam rumahnya.
Kesimpulannya: Tidak mengapa memakai parfum atau deodorant yang mengandung alcohol dan shalatnya tidak makruh sama sekali, karena dia bukanlah khamar. Wallahu Ta’ala a’lam.

Pertanyaan :
afwan ustadz,cm ingin meluruskan sedikit. dari apa yg pernah ana pelajari dr ilmu kimia, bahwa alkohol itu adalah komponen utama dlm khamar. jadi, suatu cairan/minuman itu bisa mengakibatkan mabuk apabila didalamnya ada alkohol dg kadar tertentu. untuk itu badan POM sendiri telah mengelompokkan minuman keras dlm bbrp kategori. misal: miras kategori A itu kadar alkoholnya maksimal 5%, kategori B kadar alkohol 5-10% dst. allahu a’lamJawab : Syah-syah saja kalau setiap khamar mengandung alkokohol, akan tetapi yang kita pertanyakan: Apakah semua alkohol adalah khamar?
Tentu tidak karena banyak sekali makanan di sekitar kita yang mengandung alkohol, sebut saja di antaranya tape, durian, nasi, dan semacamnya yang dalam pembuatan terdapat proses pembentukan alkohol.

Tidak ada satupun dalil dari Alkitab dan sunnah yang mengharamkan alkohol, akan tetapi yang ada hanya pengharam khamar, yaitu semua segala sesuatu yang memabukkan. Jadi khamar diharamkan karena dia memabukkan, bukan karena dia mengandung alkohol. Karenanya para ulama mengharamkan ganja dan teman-temannya dengan dalil bahwa dia termasuk khamar, padahal di dalamnya tidak mengandung alkohol.
Sebagian ustadz mengabarkan kepada kami bahwa LPPOM MUI memberikan kadar maksimal 2 %, yakni jika kurang dari itu maka tidak dianggap haram.
Intinya, tidak semua alkohol adalah khamar, akan tetapi dia berubah menjadi khamar ketika mencapai ukuran tertentu, wallahu a’lam.


Pertanyaan :
ust, apakah ini tdk bertentangan dengan artikel jawaban atas pertanyaan :hukum parfum berakohol?  http://al-atsariyyah.com/?p=284karena dinasehatkan untuk meninggalkan minyak wangi yang mengandung alkohol.
mohon penjelasan..

Jawab : Sebelumnya kami ingatkan bahwa itu jawaban pada artikel ‘hukum parfum berakohol’ adalah jawaban dari Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i.
Insya Allah tidak bertentangan. Hal itu karena ada sebagian ulama lain di antara
Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Muqbil yang melarang alkohol secara mutlak. Maka nasehat Asy-Syaikh Abdurrahman untuk meninggalkan parfum yang beralkohol adalah saran agar untuk keluar dari lingkup perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan bukan merupakan larangan untuk menggunakannya.
Karena sebagaimana yang telah diketahui bahwa beliau tidak mengharamkan alkohol secara mutlak, dan sesuatu yang tidak haram tidak ada alasan untuk meninggalkannya kecuali dari sisi afdhaliah (yang paling afdhal) atau wara` (berhati-hati). Wallahu a’lam.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=1553
* * *

Alkohol dalam Obat dan Parfum

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Banyak pertanyaan seputar alkohol yang masuk ke meja redaksi, kaitannya dengan obat, kosmetika, atau pun lainnya. Berikut ini penjelasan Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Alhamdulillah, para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol1, maka di sini kita nukilkan fatwa-fatwa mereka sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Terdapat perbedaan ijtihad di antara mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”2
Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab: “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Adapun jika obat-obatan itu tidak memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius (menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang seperti ini tidak mengapa.”(Majmu’ Fatawa, 6/18)
Juga ketika beliau ditanya tentang parfum yang disebut
الْكُلُوْنِيَا
(cologne), beliau berkata: “Parfum family:traditional arabic’>
الْكُلُوْنِيَا
(cologne) yang mengandung alkohol tidak boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu, haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut…
Kalau ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya. Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya3, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya).” (Majmu’ Fatawa , 6/396 dan 10/38-39)
Dan yang lebih jelas lagi adalah jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata: ”Pada asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan penghalang untuk menggunakannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang semacamnya…
Jadi, jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan memabukkan atau benda najis yang menjadi penghalang untuk menggunakannya, maka diapun meninggalkannya (tidak menggunakanya) seperti cologne. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan, sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya, sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah Subhaanahu wata’ala, walhamdulillah.
Demikian pula halnya, segala macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk ditinggalkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah n
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Dan hanya Allah k lah yang memberi taufik.”
Demikian pula yang terpahami dari fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullah (dalam Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah ketika ditanya tentang cologne. Beliau menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh menggunakannya dan tidak boleh memperjualbelikannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik z:
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرُهَا وَمُعْتَصِرُهَا وَشَارِبُهَا وَحَامِلُهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيْهَا وَبَائِعُهَا وَآكِلُ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ
“Rasulullah n melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya), yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menghidangkannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.”4

Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah berpendapat bahwa pada permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan jelas dari fatwa keduanya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘UtsaiminRahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata: “Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat?
Kami nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali) tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.
Telah diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illah5, jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak memabukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/ perantara yang akan menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan). Adapun mencampur dengan bahan lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian) air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”
Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Kemudian kita akhiri pembahasan ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani v yang sangat rinci. Beliau Rahimahullah berkata: “Untuk memahami makna hadits:
مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.”
Mari kita mendatangkan contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum.
Selanjutnya, apakah boleh bagi seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air yang ada menjadi memabukkan?
Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan lain tidak boleh dalam syariat Islam…
Telah kami nyatakan bahwa obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram… Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya menelan 1 sendok saja? Inilah yang dimaksudkan dengan hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak.
Namun perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah n bersabda:
لَعَنَ اللهُ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً…
“Allah melaknat 10 jenis orang karena khamr…”7
Seorang apoteker yang hendak meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat dalam hadits tersebut.
Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Dan kami memandang bahwa pendapat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin Rahimahullah  dan Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah, lebih dekat kepada kebenaran.
Wallahu a’lam.
1 Perlu diketahui bahwa alkohol (alkanol) ada beberapa golongan. Di antaranya etanol (inilah yang dijadikan sebagai zat pelarut, bahan bakar, atau zat asal untuk preparat-preparat farmasi, dan sebagian besar digunakan untuk minuman keras), spiritus, dsb., sebagaimana diterangkan dalam buku-buku kimia dan farmasi.
2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah c. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43).
3 ‘Illah suatu hukum adalah sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.
4 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz
لَعَنَ اللهُ …
(Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar c, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367).
5 Lihat catatan kaki no. 3
6 Lihat haditsnya secara lengkap pada fatwa Asy-Syaikh Muqbil di halaman sebelumnya.
Sumber : http://asysyariah.com/print.php?id_online=312
* * *

Najiskah Alkohol?

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Apakah alkohol yang digunakan untuk disinfeksi alat-alat medis termasuk najis?

(‘Aisyah, Yogyakarta)
Jawab:
Alhamdulillah. Telah kita ketahui pada pembahasan Problema Anda edisi lalu bahwa alkohol merupakan bahan memabukkan yang merupakan inti dari khamr, sehingga haram bagi seorang muslim untuk memiliki alkohol dengan cara apa pun, baik dengan membuatnya sendiri, membelinya, atau dengan cara yang lain.
Desinfeksi alat-alat medis bukanlah alasan yang ditolerir untuk bisa menggunakan alkohol, dengan dua alasan:
1. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam  bersabda:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءًٌ
“Sesungguhnya khamr itu bukan obat, melainkan penyakit.”
Beliau mengatakan hal ini ketika Thariq bin Suwaid Al-Ju’fi bertanya tentang pembuatan khamr untuk pengobatan. (HR. Muslim, no. 1984)
Dan masih ada hadits-hadits lainnya yagn menunjukkan haramnya pengobatan dengan sesuatu yang haram.
2. Kondisi darurat yang dengan itu diperbolehkan menggunakan sesuatu yang haram, adalah jika memenuhi dua persyaratan, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/330, cetakan Darul Atsar):
a. Seseorang terpaksa menggunakannya jika tidak ada alternatif lain.
b. Ada jaminan/ kejelasan bahwa dengan itu kondisi darurat akan benar-benar teratasi.
Padahal fakta membuktikan bahwa penanganan medis bukanlah satu-satunya alternatif kesembuhan. Karena tidak sedikit penderita yang sembuh tanpa penanganan medis. Melainkan hanya dengan rutin mengkonsumsi obat-obat nabawi atau ramuan-ramuan tertentu disertai kesungguhan dalam menghindari pantangan penyakit yang dideritanya. Anggaplah pada kondisi darurat tertentu terkadang seseorang terpaksa harus menjalani penanganan medis, namun –alhamdulillah– masih banyak alternatif lain selain alkohol untuk disinfeksi alat-alat medis.
Adapun najis atau tidaknya alkohol, maka ini kembali kepada permasalahan najis atau tidaknya khamr. Jumhur ulama, termasuk imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah) berpendapat bahwa khamr adalah najis. Dan ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Mereka berdalilkan firman Allah ubhaanahu wa ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, hanyalah sesungguhnya khamr, judi, patung-patung yang disembah, dan azlam1 adalah rijs, merupakan amalan setan.” (Al-Ma`idah: 90)
Namun yang benar adalah pendapat Rabi’ah (guru Al-Imam Malik), Al-Laits bin Sa’d Al-Mishri, Al-Muzani (sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) dan Dawud Azh-Zhahiri, bahwa khamr tidak najis. Ini yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Karena hukum asal segala sesuatu adalah suci kecuali ada dalil yang menunjukkan najisnya. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya khamr, maka kita menghukuminya dengan hukum asal.
Meskipun khamr haram namun tidak berarti najis, karena tidak ada konsekuensi bahwa sesuatu yang haram mesti najis. Al-Imam Ash-Shan’ani dan Al-Imam Asy-Syaukani menjelaskan kekeliruan anggapan sebagian ulama bahwa sesuatu yang haram konsekuensinya menjadi najis. Yang benar, hukum asal segala sesuatu adalah suci dan keharamannya tidaklah otomatis menjadikan hal itu najis.
Sebagai contoh, emas dan kain sutera telah disepakati dan diketahui bahwa keduanya suci, meskipun haram bagi kaum lelaki untuk mengenakannya. Namun sebaliknya, najisnya sesuatu berkonsekuensi bahwa sesuatu itu haram.
Adapun dalil yang digunakan oleh jumhur ulama, maka hal itu adalah ijtihad mereka –rahimahumullah– dalam memahami ayat tersebut. Padahal najis yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah najis maknawi, artinya minum khamr adalah perbuatan najis (kotor) yang haram, meskipun zat khamr itu sendiri adalah suci. Pemahaman ini didukung dua faktor:
1. Khamr dalam ayat tersebut disejajarkan dengan najisnya alat-alat judi, berhala-berhala sesembahan, dan anak-anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib. Padahal disepakati bersama bahwa benda-benda tersebut adalah suci, yang najis adalah perbuatan judinya, perbuatan menyembah berhala, dan perbuatan mengundi nasib. Demikian pula dengan khamr. Yang najis adalah perbuatan minum khamr, bukan khamr itu sendiri.
2. Kata rijs (yang diartikan najis) dalam ayat di atas disifati dengan kalimat berikutnya, yaitu
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
(merupakan amalan setan). Jadi yang dimaksud adalah amalannya bukan zatnya.
Kesimpulannya, bahwa ayat tersebut tidak cukup sebagai dalil untuk menggeser hukum asal tadi.
Justru terdapat hadits-hadits shahih yang menunjukkan sucinya khamr, sehingga makin menguatkan hukum asal tersebut. Hadits-hadits itu di antaranya:
1. Hadits Anas bin Malik Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah dalam Shahih-nya, Kitabul Mazhalim, Bab Shubbil Khamri fi Ath-Thariq no. 2464, juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1578. Disebutkan dalam kedua hadits itu bahwa para shahabat menumpahkan khamr mereka di jalan-jalan ketika diharamkannya khamr. Ini menunjukkan bahwa khamr bukan najis, karena jalan-jalan yang dilewati kaum muslimin tidak boleh dijadikan tempat pembuangan najis.
Bila ditanyakan: “Apakah hal itu dengan sepengetahuan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam?” Maka dijawab: Jika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengetahuinya berarti hal itu dengan persetujuan beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Berarti hadits tersebut marfu’ secara hukum. Bila tidak diketahui oleh beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya Allah Subhaanahu wa ta’ala mengetahuinya, dan Allah Subhaanahu wa ta’ala tidak akan membiarkannya bila memang hal itu adalah suatu kemungkaran, karena waktu itu merupakan masa turunnya wahyu.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Musaqat, Bab Tahrimi Bai’il Khamr no. 1579, bahwa seorang laki-laki menghadiahkan sebuah wadah berisi khamr kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa khamr telah diharamkan?” Kemudian ada seseorang yang membisiki laki-laki tersebut untuk menjualnya. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
“Sesungguhnya Dzat Yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.”
Kemudian Ibnu ‘Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkata:
فَفَتَحَ الْمَزَادَ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيْهَا
“Maka lelaki itu membuka wadah khamr tersebut dan menumpahkan isinya hingga habis.”
Kejadian ini disaksikan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak memerintahkan kepadanya untuk mencuci wadah tersebut. Ini menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis. Wallahu a’lam bish-shawab.
Maraji’/ Sumber Bacaan:
 Al-Majmu’ lin Nawawi, 2/581-582
 Subulus Salam, penjelasan hadits kedua dari Bab Izalatun Najasah, 1/55-56
 Ad-Darari Al-Mudhiyyah, hal.19-20
 Tamamul Minnah, hal. 54-55
 Asy-Syarhul Mumti’, 1/366-367
1 Azlam adalah tiga batang anak panah yang tidak berbulu, tertulis pada salah satunya “Lakukan”, yang kedua “Jangan lakukan”, dan yang ketiga kosong tanpa tulisan. Seseorang berbuat sesuai dengan anak panah yang terambil.
Sumber : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=311

Jumat, 04 Januari 2013

“WALI NIKAH” DALAM ISLAM : Pengertian, Syarat & Macam Wali Nikah, Urutan Wali Nikah, Makalah Wali Nikah, Wali Nikah Janda

Wali Nikah

 Penulis : Ibnu Zulkifli As-Samarindy

DALIL-DALIL TENTANG WALI DALAM PERNIKAHAN

Dalil-dalil yang berkaitan tentang wali bagi wanita di dalam akad Nikah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 )
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Dishohihkan oleh Al-Albani dalamShohihul Jami’ 7555)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)

BEBERAPA PERMASALAHAN YANG TERKAIT DENGAN WALI DALAM AKAD NIKAH
Permasalahan Pertama : Apakah disyaratkan di dalam akad nikah adanya wali bagi seorang wanita , baik wanita tersebut belum pernah menikah atau sudah pernah menikah, Masih kecil atau sudah dewasa ??
Mayoritas Ulama mengatakan wali adalah syarat dalam pernikahan, berdalil dengan hadits Aisyah dan Abu Musya Radhiyallahu’ anhuma yang telah disebutkan.
Berkata Ibnul Mundzir  Rahimahullah “Aku tidak mengetahui seorang (pun) dari sahabat menyelisihi (pendapat) itu”
Maka atas pendapat mayoritas ulama, apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri maka pernikahannya bathil atau tidak sah.
Dan sebagian para ulama berpendapat lain, mereka bependapat bahwa wanita tersebut berdosa dan status pernikahannya tergantung dari walinya, apakah mengizinkan atau tidak. Atau dengan kata lain, tidak langsung dikatakan tidak sah. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin, Al-Qosim, Al-Hasan bin Sholih, Abu Yusuf dan Al-Auza’IRahimahumullah
Adapun Abu Hanifah Rahimahullah mengatakan bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri sebagaimana juga dia boleh melakukan jual beli, akan tetapi menurutnya ini hanya berlaku bagi wanita yang sudah Baligh dan Rasyidah (bisa memilih yang baik dan jelek menurutnya)
Dan sebuah riwayat dari Imam Malik Rahimahullah , bahwa beliau berpendapat bolehnya wanita tersebut menikahkan dirinya sendiri apabila dia tidak termasuk wanita yang terhormat.
Dan Dawud Adz-Dzhohiri Rahimahullah berpendapat bahwa syarat adanya wali untuk wanita hanya bagi yang belum pernah menikah, adapun untuk janda maka tidak disyaratkan. Berdalil dengan hadits :
الثيب أحق بنفسها من وليها
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya” (HR. Muslim 1421)
Dan pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama, Bahwa wali adalah syarat sahnya akad nikah, baik untuk wanita yang belum menikah ataupun sudah pernah, gadis kecil maupun wanita dewasa. Dalil-dalil dengan jelas menunjukkan hal tersebut. Adapun Qiyas Abu Hanifah Rahimahullah dengan memperumpamakan dengan jual beli adalah qiyas yang rusak, karena bertentangan dengan Dalil .
Adapun dalil yang dibawakan oleh Dawud Adz-Dzhohiri Rahimahullah untuk menguatkan pendapatnya adalah berkaitan dengan izin sang wanita, bukan terkait dengan perwalian. Abu Hazm Rahimahullah juga menyelisinya dalam permasalahan ini, dan berjalan bersama mayoritas ulama.
Permasalahan Kedua : Urutan  Wali bagi wanita:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai berikut, Ayah, Kakek , ke atas kemudian Anak Laki-laki,  Cucu dari anak laki-laki, kearah bawah. Kemudian saudara laki-laki (kandung atau Seayah)  dan anak-anak  mereka.  Kemudian Saudara laki-laki Ayah, kemudian anak-anak mereka..

Ada perbedan pendapat di kalangan ulama pada beberapa keadaan , sebagai berikut :
Sebagian ulama mendahulukan perwalian anak laki-laki (bagi janda) dibanding ayah, Sebagaimana mereka juga lebih di dahulukan di dalam mendapat sisa harta warisan (ashobah). Ini pendapat yang lebih dikenal dari pendapat Malik, Dan juga ini pendapat Ishaq, Al-Anbary, Ibnul Mundzir, Abu Yusuf, Abu Hanifah Rahimahumullah
Dan Mayoritas ulama menjawab pendapat ini dengan jawaban bahwa seorang ayah lebih paham tentang maslahat untuk puterinya dibanding anak wanita tersebut dan yang kedua bahwa perwalian ayah telah tsabit ditetapkan dalam syariat ketika sang wanita tersebut masih belum memiliki anak, maka dibutuhkan dalil untuk mengubah urutan perwalian ini. Dan pendapat mayoritas ulama lebih kuat, dan ini adalah pendapat Ibnu Utsaimin  Rahimahullah
Adapun apabila wanita tersebut tidak memiliki wali Ashobah baik dari Nasab maupun dari wali yang dahulu membebaskannya dari perbudakan, maka para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa walinya adalah Hakim, ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Asy-Syafi’I, dan juga satu riwayat dari Abu HanifahRahimahumullah . Dan ini adalah pendapat yang benar, berdasarkan Hadits :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 )
Permasalahan Ketiga : Sifat wali
Wali harus seorang Muslim, telah dinukil Ijma’ oleh Ibnul Mundzir dalam perkara ini.  Berdasakan Firman Allah ta’ala :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman sebagian adalah pemimpin bagi yang sebagian lainnya” (QS. At-Taubah : 71)
 وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً
 “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141).
Kemudian Wali harus sudah Baligh, ini adalah pendapat Jumhur Ulama dan ini adalah pendapat yang Shohih. Karena Allah Azza wa jalla telah membatasi anak-anak yang belum baligh di dalam Menggunakan hartanya maka perkara perwalian pernikahan lebih tinggi dibandingkan perwalian harta.
Apakah seorang wali adalah harus laki-laki yang adil (bukan orang fasiq ) ??? terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Sebagian ulama menjadikan Adil sebagai syarat untuk menjadi wali, maka di sisi mereka orang-orang fasiq tidak memiliki hak perwalian. Karena bisa saja dia akan menikahkan wanita tersebut dengan orang fasiq juga. Ini adalah salah satu riwayat yang dinukilkan dari imam Ahmad, juga salah satu dari pendapat Asy_Syafi’iRahimahumallah  .
Sebagian ulama lainnya berpendapat tidak adanya syarat adil bagi wali, sehingga wali yang fasiq perwaliannya shohih. Karena Allah menafikan perwalian hanya dari orang Kafir, maka dipahami dari sini bahwa perwalian orang fasiq Tsabit atau diakui. Dan ini adalah pendapat yang shohih atau benar.
Adapun apabila sang wali fasiq itu ingin menikahkan wanita tersebut dengan orang fasiq maka hal itu tidak boleh. Berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
 Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “ (QS. Al-Maidah : 2)
Dan firman Allah Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..”. (QS. At Tahrim:6].
Dan sang wanita berhak untuk menolak untuk menikahi pria fasiq tersebut, dan dalam keadaan seperti ini akad nikah tidak sah karena sang wanita tidak menginginkan laki-laki tersebut.
Adapun Ibnu Utsaimin Rahimahullah berpendapat dengan perincian sebagai berikut, apabila kefasikan sang wali tersebut akan berkonsekuensi dengan tindakan menikahkan sang wanita dengan orang-orang fasiq atau laki-laki yang tidak diinginkan atau disetujui oleh sang wanita, maka gugur perwalian darinya dan tidak boleh baginya menjadi wali.
Dan Apabila kefasikanya tidak berdampak pada hal-hal yang telah disebutkan maka perwaliannnya sah.
Wallahu A’lam
(Fathul Alam, Muhammad Bin Hizam Al-Ibbi hafidhahullahu )
 artikel nikah, hukum wali, kawin kontrak, kawin mut’ah, kitab nikah, menikahkan diri sendiri, nikah janda, perwal, perwalian dalm nikah, rukun akad nikah,siapakah wali, syarat akad nikah, syarat wali, wali hakim, wali nikah
Sumber :  http://assamarindy.wordpress.com/2012/07/03/wali-nikah/

Waria (Banci) dalam syariat Islam

Waria (Banci) dalam syariat Islam

PENGERTIAN WARIA (Al-Mukhonats )
Waria (dari wanita-pria) atau wadam (dari hawa-adam) dalam pengertian istilah umum diartikan sebagai laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. (Wikipedia)
Adapun dalam bahasa Arab, Waria dikenal dengan Al-Mukhonats (selanjutnya istilah ini yang akan kita gunakan untuk waria, wadam,bencong,banci)  dan secara Istilah Syariat, didefinisikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullahu sebagai laki-laki yang menyerupai  wanita dalam gerakan, gaya bicara dan sebagainya. Apabila hal tersebut merupakan asli dari penciptaan dia (dari lahir. Pent) maka dia tidak bisa disalahkan dan dia diharuskan menghilangkan hal tersebut. Dan apabila hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari keinginannya dan dia berusaha untuk bisa seperti itu maka hal tersebut merupakan sesuatu yang tercela dan dengan itu ditetapkanlah nama Al-Mukhonats (Waria) untuknya baik dia melakukan perbuatan kotor (Homoseksual) ataupun tidak. (Fathul Bari’, 9/334 Secara makna)
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu mengatakan : Ulama mengatakan : Al-Mukhonats ada dua jenis, Jenis pertama adalah yang golongan yang diciptakan dalam keaadaan seperti itu, dan dia tidak memberat-beratkan dirinya ( baca . berusaha) untuk berakhlaq dengan akhlaq wanita, berhias, bicara dan bergerak seperti gerakan wanita. Bahkan hal tersebut merupakan kodrat yang Allah ciptakan atasnya, maka yang seperti ini tidak ada ejekan,  celaan, dosa dan hukuman baginya karena sesungguhnya dia diberi udzur karena dia tidak membuat-buat hal tersebut. Jenis kedua dari Al-Mukhonats yaitu yang kodratnya tidak seperti itu, bahkan dia berusaha berakhlak, bergerak, bertabiat dan berbicara seperti wanita dan juga berhias dengan cara wanita berhias. Maka ini adalah tercela yang telah datang hadits yang shohih tentang laknat (terhadapnya)(Syarh Shohih Muslim (7/317) secara ringkas)
Dan sebagaimana dikatakan imam An-Nawawi bahwa lafadz Al- Mukhonats dilekatkan pada mereka , baik mereka melakukan perbuatan kotor (homoseksual) atau tidak, adapun pelaku homoseksual (liwath) dalam bahasa arab disebut dengan Luthi,yaitu dinisbahkan kepada perbuatan kaum nabi Luth alaihi salam yang memulai perbuatan menjijikkan itu untuk pertama kali. Begitu juga harus dibedakan antara Al-Mukhonats dengan Khuntsa, Khuntsa adalah insan yang memiliki dua alat kelamin ganda yang berbeda jenis, terkadang sejak lahir dan terkadang lahir dalam keadaan memiliki satu alat kelamin kemudian tumbuh yang kedua.
Jadi harus diketahui bahwa tidak setiap luthi (Homoseks) itu adalah Al-Mukhonats (Waria) karena sangat banyak sekali diantara mereka yang secara fisik seperti laki-laki normal yang gagah dan jantan akan tetapi ternyata seorang homoseksual, begitu juga sebaliknya kita tidak boleh mengatakan bahwa seluruh Al-Mukhonats adalah pelaku homoseks, karena untuk menuduh seseorang sebagai pelaku perbuatan tersebut dibutuhkan persaksian yang jelas. Adapun khuntsa insya Allah kita bahas di catatan-catatan berikutnya.
Kembali ke pembahasan Al-Mukhonats, dari penjelasan ulama diatas diketahui bahwa Al-Mukhonats ada dua jenis :
Pertama : Kodratnya sejak lahir,  seperti memiliki postur tubuh yang menyerupai wanita, lisan yang apabila berbicara menyerupai wanita dan lainnya.
Kedua : Dilahirkan dengan normal seperti laki-laki kemudian berusaha untuk berbicara, bergerak, bertabiat dan berhias seperti wanita.
Hukum keduanya ini pun akan berbeda, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Jenis pertama tidak mendapat cela,ejekan, dosa dan hukuman karena ini adalah sesuatu yang merupakan kodratnya dari lahir dan wajib bagi dia untuk berusaha merubahnya semampu dia walaupun secara bertahap. Apabila dia tidak berusaha merubahnya bahkan senang dengannya maka dia berdosa, ditambah lagi apabila dia malah mengikuti kekurangan fisik tersebut dengan memakai pakaian wanita, berhias dengan hiasan wanita yang tidak terkait kodrat fisiknya maka dia sudah masuk ke jenis kedua.
Berkata Al-Hafidz : “Dan adapun tercelanya menyerupai cara bicara dan cara berjalan (wanita) adalah dikhususkan bagi yang bersengaja untuk melakukannya . Adapun yang keadaan itu merupakan asal penciptaannya (sejak lahir) maka dia diperintahkan berusaha untuk meninggalkannya dan menghilangkannya secara bertahap dan apabila dia tidak melakukannya dan berpaling dari usaha tersebut maka dia tercela apalagi tampak darinya apa yang menunjukkan bahwa dia ridho dengan keadaan seperti itu (Fathul bari’ , 10/332)
Beliau juga berkata terkait pendapat Al-Imam An- Nawawi : “Dan adapun pendapat yang memutlakkan seperti An-Nawawi  yang berpendapat bahwa Al-Mukhonats yang berasal dari kodrat (penciptaanya) tidak bisa ditimpakan kepadanya kesalahan maka pendapat ini dibawa kepada keadaan apabila dia tidak mampu untuk meninggalkan gaya wanita dan kekurangan pada gaya berjalan dan berbicaranya itu setelah dia berusaha untuk melakukan terapi pengobatan untuk meninggalkannya dan adapun apabila kapan saja dia mampu untuk meninggalkan hal itu walau bertahap kemudian dia meninggalkan usaha tersebut maka hal itu adalah dosa (kesalahan) (Fathul Bari’ , 10/332)
ANCAMAN DAN DOSA UNTUK Al-Mukhonats
Dan bagi Al-Mukhonats jenis kedua dan juga Al-Mukhonats jenis pertama yang kemudian digolongkan seperti jenis kedua karena tidak ada usaha merubahnya dan bahkan ridho dengannya maka termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam :
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma , beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْالنِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Artinya : “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu dia berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَالرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَالرَّجُلِ
Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Daud No. 4098)
Dan makna laknat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam terhadap satu golongan adalah doa beliau agar golongan tersebut ditolak dan dijauhkan dari Rahmat Allah Subhana Wa Ta’ala  (Al-Qoulul Mufied,1/427)
Dan rahmat Allah mencakup ampunan, hidayah, taufiq, rezeki, kesehatan dan lain-lain. Kita berlindung kepada Allah dari segala sebab yang menjauhkan rahmatnya.

HUKUMAN UNTUK Al-Mukhonats
Adapun hukuman bagi Al-Mukhonats adalah sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam dalam hadits Abu Hurairoh Rhadiyallahu ‘anhu :
 أنالنبي صلى الله عليه وسلم، أُتي بمخنث، قد خضب يديه ورجليه بالحناء، فقالالنبي صلى الله عليه وسلم: ما بال هذا؟ فقيل: يا رسول الله يتشبه بالنساء،فأمر فنفي إلى النقيع، فقالوا: يا رسول الله ألا نقتله؟ فقال: إني نهيت عنقتل المصلين
“Sesungguhnya didatangkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam seorang Al-Mukhonats, dan dia telah mewarnai tangan dan kakinya dengan hina’ (Pewarna alami untuk kuku,rambut atau kulit. Pent). Maka Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam berkata ; “Ada apa dengan orang ini ??” maka diakatakan pada beliau, Wahai Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam dia menyerupai wanita. Maka beliau memerintahkan (hukuman) dan kemudian orang tersebut diasingkan ke An-Naqie’. Maka para sahabat berkata : ” Wahai Rasulullah , Apakah tidak kita bunuh ??? maka beliau menjawab, ” Sesungguhnya aku dilarang untuk membunuh orang-orang yang sholat” (HR. Abu Dawud No. 4928 Dishohihkan oleh Al-Albani Rahimahullahu)
Dan An-Naqie’ adalah tempat sejauh perjalanan dua malam dari Kota Madinah (Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud 13/276)
Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan harus diyakini bahwa pengasingan tersebut mendatangkan kebaikan yang dituju, yaitu menjauhkan masyarakat dari kejelekannya, adapun apabila kita dapati diasingkannya dia ke suatu tempat malah menimbulkan masalah baru bagi manusia , maka cukuplah orang tersebut dikurung di satu tempat yang tidak ada orang lain di sana”
Beliau juga berkata: “Dan apabila ditakutkan dia keluar, maka dia diikat, karena sesungguhnya itulah makna pengasingannya dan dikeluarkannya dia dari manusia” (Majmu’ Al-Fatawa , 15/310)
Beliau juga menukil : “Dan termasuk dari hukuman yang datang sunnah dengannya dan juga Ahmad dan As-Syafi’I berpendapat dengannya adalah pengasingan Al-Mukhonats ” (Fatawa Kubro, 5/530)
Dan diadiasingkan atau dikurung sampai dia bertaubat, berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullahu :
“Dan pengasingan mutlak seperti  pengasingan Al-Mukhonats , maka dia diasingkan sampai dia bertaubat” (Minhajus Sunnah , 6/235)
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullahu  : “Dan termasuk dari siasat syar’I yang dinashkan (dilafadzkan)  oleh Al-Imam Ahmad Rahimahullahu , beliau berkata dalam riwayat Al-Marwazi dan Ibnu Manshur : “Al-Mukhonats diasingkan dan dijauhi, karena sesungguhnya tidak timbul darinya kecuali kerusakan . Dan bagi Imam (pemimpin) untuk mengasingkannya ke negeri yang aman dari kerusakkan penduduknya, dan apabila ditakutkan sesuatu menimpanya maka (cukup) dikurung” (Bada’iul Fawaid, 3/694)
Imam Bukhori Rahimahullahu pun membuat Bab dalam kitab As-Shohihnya : Bab : Diasingkannya pelaku maksiat dan para waria. Kemudian beliau membawakan hadits Ibnu Abbas Rhadiyallahu ‘anhuma :
لَعَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ ، وَقَالَ « أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ » . وَأَخْرَجَ فُلاَنًا ، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا
Artinya : Nabi shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki dan beliau berkata : “keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian” dan beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam mengeluarkan fulan dari rumah beliau dan umar mengeluarkan fulan . (HR. Bukhori No. 6834)

HUKUM-HUKUM YANG TERKAIT DENGAN Al-Mukhonats
Hukum masuknya Al-Mukhonats kepada para wanita
Al-Mukhonats yang memiliki ketertarikan pada wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama  tentang haramnya dia masuk kepada wanita dan memandang kepada mereka.
Adapun Al-Mukhonats yang berasal dari kodratnya dan tidak memiliki ketertarikan pada wanita maka ada dua pendapat :
Pertama : Al-Malikiyah, Al-Hanabilah, dan sebagian Al-Hanifiyah memberi keringanan kepada Al-Mukhonats  jenis ini untuk berada bersama wanita dan bolehnya dia memandang wanita. Berdalil pengecualian tentang golongan yang boleh memandang kepada wanita dalam Firman Allah :
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ
Artinya : ” “Atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tidak punya syahwat terhadap wanita.” (QS. An-Nur: 31)
Pendapat kedua :  As-Syafi’iyah dan kebanyakkan Al-Hanafiyah berpendapat bahwa Al-Mukhonats yang tidak memiliki ketertarikan pada wanita tidak boleh masuk kepada wanita dan memandang kepada mereka. Berdalil dengan hadits Ummu salamh Rhadiyallahu ‘anha:
 أنالنبي صلى الله عليه وسلم دخل عليها وعندها مخنث وهو يقول لعبد الله أخيهاإن يفتح الله الطائف غدا دللتك على امرأة تقبل بأربع وتدبر بثمان فقالالنبي صلى الله عليه وسلم أخرجوهم من بيوتكم
Artinya : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada seorang mukhannats. Aku mendengar mukhannats itu berkata kepada Abdullah bin Abi Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah, pen.): “Wahai Abdullah! Jika besok Allah membukakan/ memenangkan Thaif untuk kalian, maka hendaklah engkau berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan putri Ghailan, karena dia menghadap dengan empat dan membelakangi dengan delapan”. Ucapannya yang demikian didengar oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam , maka beliau pun menetapkan:“Mereka (mukhannats) itu sama sekali tidak boleh masuk menemui kalian lagi.” (HR. Al-Bukhari no. 4324 dan Muslim no. 21807)     
 Makna kalimat : “ menghadap dengan empat dan membelakangi dengan delapan ” ini adalah penyifatan fisik wanita yang disukai pada saat itu yaitu lekukan itu sampai ke pinggangnya, pada masing-masing sisi (pinggang) empat sehingga dari belakang terlihat seperti delapan.
Dan pendapat yang kedua lebih kuat, silahkan lihat pembahasan lebih rinci disini.
Wanita menikah dengan Al-Mukhonats
Tidak boleh seorang wanita menikah dengan Al-Mukhonats sampai dia bertaubat, apalagi Al-Mukhonats tersebut seorang pelaku homoseksual. Karena tergabung padanya dua laknat , laknat pelaku homoseksual dan laknat karena dia menyerupai wanita. (lihat Majmu’ Al-fatawa 15/321)
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam bersabda :
عَنَ اللهُ من عمِلَ عَمَلَ قومِ لُوطٍ ،لعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قوْمِ لوطٍ ، لعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قومِ لوطٍ
Artinya : ‘Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth’” (HR Ahmad dan selainnya dari Ibnu Abbas Rhadiyallahu ‘anhuma, As-Shohihah No. 3462).
Dan juga dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma , beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَالْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْالنِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
 “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari No. 5885)
Sholat dibelakang Al-Mukhonats
Berkata Az-Zubaidi, berkata Az-Zuhri : “Kami tidak berpendapat bolehnya sholat dibelakang (menjadi ma’mum) Al-Mukhonats  kecuali dalam perkara darurat yang tidak bisa dihindari” (Bukhori No. 659)
Salam kepada Al-Mukhonats
Berkata Abu Dawud Rahimahullahu : Aku bertanya kepada Imam Ahmad Rahimahullahu : ” Apakah boleh (aku) mengucapkan salam kepada Al-Mukhonats  ??”  beliau menjawab ? : “Aku tidak tahu, As-Salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah Azza wa jalla”
Berkata Ibnu Taimiyah :  “Maka sungguh beliau telah Tawaqquf (tidak memberi keputusan) dalam perkara salam terhadap Al-Mukhonats “ (Al-Mustadrok ala Majmu’ul Fatawa, 3/211)
Menjadikan Al-Mukhonats pemimpin
Berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullahu : “Maka yang mengagungkan Al-Mukhonats dari kalangan laki-laki dan menjadikan untuk mereka kepemimpinan dan memegang urusan maka hal tersebut adalah haram.” (Al-Istiqomah, 1/321)
Persaksian Al-Mukhonats
Dan juga dinukil dari pendapat madzhab Al-Hanafiyah yaitu tidak diterimanya persaksian Al-Mukhonats karena termasuk dari orang fasiq  (Al-Bahru Ro’iq, Hafidzuddin An-Nasafi 7/84)
Wallahu A’lam
Sumber Catatan :
1. Majmu Al-fatawa
2. Fathul Bari’
3. Syarh Shohih Muslim
4. dan Kitab-kitab lainnya yang bersumber dari maktabh Syamilah